Friday, July 31, 2009

Ilmu-Ilmu Teoritis dan Kebahagiaan Teoritis

Dalam pandangan filosof Muslim, kebahagiaan teoritis adalah kebahagiaan paling tinggi, sebab kebahagiaan pada level itu tercapai melalui fakultas mental yang jauh jaraknya dari dunia inderawi yang bersifat badaniah. Makin jauh suatu kebahagiaan dari hal-hal yang inderawi, makin tinggi pula kualitas kebahagiaan itu. Makin mendekat kita kepada Wujud dengan “W” besar, makin tinggi pula “stasis” atau kedudukan kita dalam tangga kebahagiaan.

Sejumlah filosof modern saat ini sudah kerap menjadi rujukan pemikiran yang memikat bagi para intelektual Muslim di Indonesia, termasuk tentunya yang berlatarbelakang NU (Nahdlatul Ulama). Sebutlah nama-nama yang saya kira sudah akrab di telinga anak-anak muda Islam itu—Jacques Derrida, Michel Foucault, Roland Barthes, Umberto Eco, Jurgen Habermas, Pierre Bourdieu, Richard Rorty, dsb.

Filsafat penafsiran yang diperkenalkan oleh para filosof Eropa seperti Friedrich Schleiermacher, Hans-Georg Gadamer, atau Paul Ricoeur juga sudah sejak beberapa waktu terakhir ini menarik minat para intelektual Muslim di Indonesia.

Ilmu-ilmu yang diperkenalkan oleh para pemikir modern itu, dalam skema pengetahuan yang dikenal dalam khazanah Islam klasik, disebut dengan ulum nazariyyah atau ilmu-ilmu teoritis. Sebagaimana kita tahu, para filosof Muslim klasik mengenalkan dua jenis ilmu: ilmu-ilmu teoritis (ulum nazariyyah) dan ilmu-ilmu praktis (ulum amaliyyah).

Skema ini juga terkait dengan teori kebahagiaan yang dikembangkan oleh filosof Muslim. Ada dua jenis kebahagiaan, yakni kebahagiaan teoritis (sa’adah nazariyyah) dan kebahagiaan praktis (sa’adah amaliyyah). Ilmu-ilmu teoritis adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan teoritis, sementara ilmu-ilmu praktis akan membawa kita kepada kebahagiaan praktis.

Dengan demikian, membaca pemikiran-pemikiran besar seperti ditulis Derrida dan lain-lain itu bisa menjadi jalan menuju kepada sebuah kebahagiaan, yakni kebahagiaan teoritis, sekurang-kurangnya seperti dikonseptualisasikan oleh para filosof Muslim klasik.

Saya kira apa yang dikatakan oleh para filosof Muslim itu bukanlah sesuatu yang abstrak. Teman-teman yang pernah menikmati karya-karya teoritis dari pemikir besar modern itu pasti pernah merasakan betapa membahagiakannya momen saat kita bisa menembus “kelebatan teks” (maksudnya teks yang begitu lebat sehingga susah ditembus seperti sebuah hutan) yang kita jumpai dalam karya-karya semacam itu.

Momen saat kita berhasil melakukan “deciphering” atau penyingkapan kode-kode tekstual dalam karya-susah-tembus itu begitu membahagiakan sehingga, saya kira, tak jauh beda dengan momen “mistis” yang dialami oleh seorang mutasawwif atau mistikus yang mengalamai suatu teofani, tajalli, atau kehadiran Wujud dengan “W” besar (dalam pengertian Being seperti dipahami oleh Heidegger atau Suhrawardi). Membaca suatu gagasan-gagasan teoritis dan berhasil masuk ke dalam horison yang dibuka oleh gagasan itu adalah suatu kebahagiaan yang luar biasa, yakni kebahagiaan teoritis.

Meskipun tak dikatakan secara eksplisit, filosof Muslim sepertinya hendak mengatakan bahwa kebahagiaan teoritis sebetulnya lebih tinggi kedudukannya ketimbang kebahagiaan praktis. Akan tetapi, kebahagiaan teoritis tak bisa dicapai tanpa dikondisikan terlebih dahulu melalui kebahagiaan praktis.

Sebagaimana dalam teori-teori kiri yang dikembangkan oleh kaum Marxis, filosof Muslim memandang “theoria” dan “praxis”, teori dan tindakan, sebagai dua hal yang saling membutuhkan, bahkan saling mengandaikan. Dalam kerangka dogma Islam, tampaknya ini paralel dengan konsep tentang iman dan amal yang selalu disandingkan satu dengan yang lain tanpa bisa dipisahkan.

Dalam pandangan filosof Muslim, kebahagiaan teoritis adalah kebahagiaan paling tinggi, sebab kebahagiaan pada level itu tercapai melalui fakultas mental yang jauh jaraknya dari dunia inderawi yang bersifat badaniah. Makin jauh suatu kebahagiaan dari hal-hal yang inderawi, makin tinggi pula kualitas kebahagiaan itu. Makin mendekat kita kepada Wujud dengan “W” besar, makin tinggi pula “stasis” atau kedudukan kita dalam tangga kebahagiaan.

Jika di awal tulisan ini saya menyebut pemikir-pemikir modern sebagai contoh dari ilmu-ilmu teoritis, di ujung tulisan ini saya ingin menambahkan bahwa khazanah intelektual Islam klasik sangatlah kaya dengan ilmu-ilmu teoritis yang menjadi semacam “syarat kemungkinan” kita untuk mengetahui sesuatu (istilah “syarat kemungkinan” itu saya pakai di sini dalam pengertian yang dikenalkan oleh Immanuel Kant).

Ilmu-ilmu teoritis bisa kita sebut sebagai ilmu yang menyediakan “syarat kemungkinan” , sebab ilmu-ilmu itulah yang memberikan kepada kita suatu kerangka untuk “melihat” (dalam bahasa Yunani, istilah “theoria”, asal mula dari istilah modern “theory”, artinya adalah melihat atau memandang) sesuatu.

Ilmu yang disebut dengan ushul fiqh (teori hukum Islam) masuk dalam kategori ilmu-ilmu teoritis itu, sebab dengan ilmu inilah seluruh praktek ber-fiqh diberikan suatu landasan teoritis, landasan untuk memandang. Dengan demikian, karya-karya seperti al-Mustashfa karangan al-Ghazali (w. 1111) atau al-Mahshul karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), misalnya, bisa disebut sebagai karya-karya teoritis yang kedudukannya bisa kita setarakan dengan karya-karya pemikir modern seperti Paul Riceour atau Umberto Eco.

Hubungan antara fiqh dan ushul fiqh adalah sama dengan hubungan antara “theoria” dan “praxis” dalam tradisi filsafat kuno yang dikenal di Yunani dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para filosof Muslim. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Memisahkan kegiatan ber-fiqh dari ushul fiqh sama dengan memisahkan antara iman dan amal, antara theoria dan praxis, antara mengetahui/pengetahuan dan “syarat kemungkinan”-nya.

Agar masalahnya lebih jelas lagi, saya kira suatu ilustrasi yang visual boleh juga dicoba di sini. Saya ingin mengambil suatu metafor tamasya di sebuah taman. Ketika kita mengunjungi sebuah taman, kita sebetulnya melakukan dua tindakan sekaligus, yaitu memandang taman dan berjalan di sana.

Dua tindakan itu memiliki watak batiniah (maksudnya intrinsik) yang sangat berbeda. Berjalan di taman adalah kegiatan praktis yang hanya mengandalkan kemampuan fisik, sementara “memandang taman” adalah kegiatan teoritis yang melibatkan suatu fakultas mental. Kegiatan “memandang” inilah yang memungkinkan kita menikmati suatu tamasya di taman. Kegiatan “memandang” itu pula yang memandu perjalanan kita di sana. Dengan “memandang” itu, kita juga bisa meletakkan taman dalam sebuah perspektif, dalam suatu keluasan, horison.

Berjalan di taman jelas sesuatu yang membahagiakan, dan di sanalah kita jumpai apa yang disebut kebahagiaan praktis. Tetapi memandang taman juga kebahagiaan lain, bahkan lebih tinggi mutunya, sebab di sanalah kita jumpai kebahagiaan teoritis.

Kegiatan ber-fiqh tanpa dibarengi dengan refleksi ushul fiqh sama dengan berjalan di taman dengan mata tertutup. Tentu saja kita bisa ber-fiqh tanpa pada saat yang sama ditunjang dengan “refleksi ushul fiqhiyah”, tetapi itu sama saja dengan memisahkan kebahagiaan praktis dari kebahagiaan teoritis. Kebahagiaan ber-fiqh semacam itu adalah kebahagiaan yang timpang. Agar lebih sempurna, kegiatan ber-fiqh haruslah disertai dengan kegiatan lain yang menyempurnakannya, yaitu kegiatan ber-ushul fiqh yang kedudukannya sama dengan “memandang taman”.

Salah satu karakter yang saya kira kuat sekali menandai tradisi ber-mazhab seperti dikembangakn di lingkungan Nahdlatul Ulama adalah adanya kecenderungan untuk asyik terserap dalam detil-detil hukum yang sifatnya praktis (kalau mau memakai istilah yang sering kita jumpai dalam literatur uhsul fiqh, “al-ahkam al-’amaliyyah al-muktasabah min adillatiha al-tafshiliyyah"), tetapi agak mengabaikan kegiatan lain yang sifatnya teoritis, yaitu ushul fiqh. Tradisi bahtsul masa’il yang kita kenal di NU, misalnya, adalah kegiatan pada level praktis. Kita jarang melihat ada suatu forum yang secara khusus didedikasikan untuk “melihat” (ingat: theoria) kembali kegiatan ber-fiqh itu dari sudut pandang teoritis.

Dalam konseptualisasi filsafat klasik Islam, tindakan “naik” (’uruj) biasanya dipandang sebagai sesuatu yang bajik dan baik, sementara tindakan “turun” (nuzul) dipandang sebagai hal yang cenderung lebih inferior dan rendah. Karena itulah, filsafat ketuhanan biasa disebut juga sebagai ”al-falsafah al-muta’aliyah” (secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai “filsafat ketinggian") sebagaimana dalam kasus Shihab al-Din al-Suhrawardi (w. 1191).

Bagaimana kita bisa mencapai suatu ketinggian? Dalam konsepsi filsafat Islam klasik, kegiatan “naik” atau katakan saja ‘uruj dan mi’raj dimungkinkan karena kita melakukan tindakan “memandang”, tindakan yang lebih teoritis sifatnya. Hanya dengan “theoria” kita bisa pelan-pelan mendaki dan mencapai tangga yang lebih tinggi. Setiap tahap dalam kenaikan itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri, kebahagiaan teoritis.

Anak-anak muda Muslim yang sekarang menggeluti pemikiran-pemikiran para teoritikus besar modern seperti Derrida, Foucault, dsb. itu adalah melanjutkan saja tradisi “teoritis” yang sudah lama ada dalam sejarah keilmuan klasik Islam. Alangkah baiknya seandainya bacaan mereka atas karya-karya teoretis modern itu dikombinasikan pula dengan karya-karya teoritis klasik dalam tradisi Islam sendiri, seperti kita lihat pada pemikir-pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Razi, Abu al-Husain al-Basri (seorang sarjana Mu’tazilah yang mengarang karya ushul fiqh berjudul al-Mu’tamad).

Tetapi, pada akhirnya, janganlah kita lupa bahwa kebahagiaan teoritis tak bisa dipisahkan dari kebahagiaan praktis. “Theoria” dan “praxis” adalah sebuah “continuum”, suatu garis dengan dua titik di ujungnya yang saling terhubung. Untuk hal ini, ada baiknya kita baca kembali karya klasik dari Abu Bakr al-Razi (w. 925), al-Thibb al-Ruhani yang bisa menjadi semacam panduan “spiritual” yang bisa menuntun kita untuk “berjalan-jalan di taman”, menelusuri kontinum itu.

sumber : islamlib.com

No comments:

Post a Comment

Free Shoutbox Technology Pioneer