Tuesday, August 17, 2010

APOTEK TAK DIJAGA APOTEKER

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG
Dalam dunia kesehatan, apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian mencakup hal-hal yang luas tergantung pada dimana seorang apoteker menjalankan profesinya. Namun, inti dari pekerjaan kefarmasian adalah pelaksanaan “Pharmaceutical Care”, yaitu tanggung jawab farmako-terapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Salah satu tempat dimana Pharmaceutical Care dapat diimplementasikan adalah apotek.

Apotek adalah tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Kegiatan bisnis yang dilakukan dalam apotek memberikan ciri khusus yang sangat berbeda dibandingkan usaha bentuk lain, walaupun tujuan akhir sama-sama untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Perbedaan yang nyata tidak hanya terlihat dari kekhususan barang yang diperjualbelikan (obat-obatan, perbekalan farmasi, atau alat kesehatan lainnya), tetapi juga dari segi persyaratan sahnya penjualan, besarnya resiko penggunaan barang yang tidak tepat, aturan pemakaian, dan perbedaan dalam hal standar maksimal harga penjualan. Dari segi harga, suatu apotek tidak mengenal strategi penjualan seperti barang dagang lain yang mengenal naik turunnya harga, tergantung pada kondisi pasar pada saat tertentu, sehingga istilah-istilah pemberian diskon, hadiah bagi pembelian produk tertentu dengan jumlah tertentu, sayembara berhadiah, dan lain-lain tidak etis diterapkan dalam apotek.

Menurut peraturan yang ada, setiap apotek harus memiliki seorang apoteker yang berlisensi sebagai penanggung jawab apotek. Apoteker yang bekerja sebagai pengelola apotek difokuskan perannya kepada:
a. Menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang mutu dan keabsahannya terjamin
b. Melayani dan mengawasi peracikan dan penyerahan obat
c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat, baik dengan resep dokter maupun penjualan bebas
d. Melaksanakan semua peraturan kefarmasian tentang apotek
e. Tidak terlibat konspirasi penjualan obat keras ke dokter praktek, toko obat, dan sarana lainnya yang tidak berhak
f. Melakukan kerjasama yang baik dengan apotek sekitarnya dalam rangka meningkatkan pelayanan pada pasien
Fenomena yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa banyak apoteker yang tidak berada di apotek seperti yang seharusnya. Padahal, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP 25), setiap hari seorang apoteker harus berada di apotek untuk melayani masyarakat dan bertanggung jawab atas semua kegiatan manajemen dan kefarmasian yang diselenggarakan di apotek. Selain itu, peraturan Departemen Kesehatan/Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Komunitas mengharuskan adanya dua apoteker jika apotek melayani masyarakat lebih dari 8 jam dan tiga apoteker jika apotek melayani masyarakat 24 jam.

Diduga hampir 99% apotek di Indonesia tetap buka dan menerima pelanggan walaupun apotekernya tidak di tempat. Penelitian serupa yang dilakukan oleh para apoteker di UI menunjukkan bahwa sekitar 90% apotek yang mereka survey, apotekernya tidak ada di tempat. Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), periode lalu menuturkan bahwa apotek di Indonesia belum menjadi suatu sistem sehingga apotek menjadi sekedar tempat jual beli obat. Menurutnya, apoteker hanya sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek. Sementara dalam praktiknya, tidak semua apotek memiliki apoteker.

Sebagian besar apoteker yang bertugas di apotek memperlakukan tugasnya di apotek sebagai kerja sampingan dan mengunjungi apotek satu-dua minggu sekali. Mereka umumnya mempunyai pekerjaan tetap lain di perguruan tinggi, industri, pemerintahan atau lembaga-lembaga lain. Alasan lain mengapa seorang apoteker jarang berada di apoteknya adalah karena mereka lemah jika dihadapkan dengan PSA, Pemilik Sarana Apotek/pengusaha. Kompensasi administrasi berupa gaji biasanya rendah dan hal ini membuat motivasi apoteker menurun. Ada pula pengusaha yang berorientasikan bisnis sehingga seringkali fungsi apoteker dalam menentukan obat mana yang diperlukan sesuai resep tidak dibutuhkan. Tujuannya adalah keuntungan sebesar-besarnya, sehingga terdapat kasus dimana obat keras yang dibeli tanpa resep dokter pun diberikan. Sebuah sumber menyatakan berkurangnya peran apoteker tersebut diakui terjadi sejak preparat/sediaan obat dipabrikasi, sehingga peran apoteker sebagai peracik obat tidak lagi merupakan suatu keharusan. Peran apoteker di apotek malah lebih banyak dilakukan oleh asisten apoteker. Kurang siapnya apoteker, terutama apoteker baru dalam mempersiapkan bekalnya untuk bekerja di apotek juga merupakan penyebab masalah ini.

Apoteker sebagai peran sentral yang bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga menimbulkan citra yang kurang baik bagi profesi apoteker itu sendiri. Seharusnya di setiap apotek yang buka, ada apoteker yang bertugas dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian secara langsung dari apoteker. . Ketidakhadiran seorang apoteker memberikan dampak bagi keberlangsungan pelayanan terhadap masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan kerugian bagi pasien sebagai pihak yang lemah. Pasien tidak mendapat informasi lengkap tentang khasiat obat yang ditebusnya dari apotek kecuali penjelasan singkat tentang aturan pakai dari pelayan apotek tersebut, sementara untuk menebus obat itu pasien harus mengeluarkan biaya mahal. Dampak lain dari masalah ini adalah perbedaan mendasar dari apotek dan toko obat semakin tidak transparan. Sosok apoteker sebagai orang yang bertanggung jawab penuh dan sekaligus pembeda nyata dengan toko obat yang menurut peraturan tidak harus memiliki apoteker, semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya.

Di sisi lain pasien seringkali terkecoh dengan penjelasan dari pelayan apotek bahwa obat tertentu di resep tersebut habis dan bisa digantikan dengan obat merek lain dengan khasiat yang sama. Bagi pasien yang tak ingin repot, tawaran ini menjadi alternatif pilihan. Padahal, mengganti resep obat tidak dibenarkan. Seperti yang ditegaskan dr Marius Widjajarta, SE, seorang apoteker apalagi seorang pelayan apotek tidak berhak membujuk pasien untuk mengubah resep dokter tanpa persetujuan dokter yang bersangkutan. Seharusnya apoteker berkomunikasi dengan dokter mengenai resep yang diberikan untuk memberikan pelayanan yang optimal terhadap pasien. Apalagi jika dalam resep terdapat keraguan terhadap obat yang diberikan, misalnya ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat. Maka, konsultasi dibutuhkan supaya tidak terjadi kesalahan pemberian obat yang berakibat fatal terhadap keselamatan pasien.

Pemerintah belum memiliki standar farmasi yang jelas. Padahal standar itu sangat penting untuk menegaskan posisi farmasis atau apoteker dalam pengelolaan obat. Merupakan kewenangan pemerintah dalam membuat sistem yang tepat untuk memposisikan apoteker tersebut sesuai profesinya. Pemerintah perlu melakukan sebuah keputusan yang tegas apakah apoteker ditempatkan dalam masyarakat, rumah sakit atau apotek tersendiri. Di luar negeri semuanya sudah diatur dengan jelas dalam sistem tertentu. Pemerintah yang membuat keputusan dan sistem, mereka pulalah yang menjalankan kewenangan itu. Dengan adanya sistem tersebut maka tergambarkan di posisi mana apoteker itu. Apabila terjadi hal-hal diluar sistem tersebut, pemerintah bisa melakukan tindakan tertentu kepada apoteker sesuai dengan peraturan yang dibuat. Saat ini hal itu belum ada.

Untuk menjalankan sistem itu, dalam struktur pemerintahan (Depkes) perlu ada direktorat khusus yang mengatur masalah pelayanan obat. Tujuannya adalah sebagai pelaksana kewenangan yang sudah dibuatkan sistemnya. Karena itu pemerintahlah yang mengatur pelaksanaannya. Pemerintah tak perlu menilai komoditi obat mana yang ditangani apoteker, karena semua obat itu dikelola oleh apoteker.

Dengan standar kompetensi farmasis tersebut, para apoteker mengatur diri sendiri. Standar tersebut menjadi paduan bagi apoteker dalam menjalankan profesi dan tugasnya.

Pada Oktober 2004 Kefarmasian Departemen Kesehatan (DepKes) RI bersama ISFI sudah menyusun standar kefarmasian di apotek. Standar tersebut menyangkut beberapa program pemerintah tentang profesi apoteker dan fungsinya. Ada beberapa program yang siap diterapkan. Salah satunya meningkatkan fungsi apoteker di apotek. Ditekankan juga beberapa langkah untuk meningkatkan kesadaran bahwa apoteker itu sangat penting dalam memberikan konsultasi obat kepada masyarakat serta informasi menyeluruh tentang hal itu.

Solusi lain telah dituangkan dalam keputusan Menteri Kesehatan bahwa apotek di Indonesia akan diakreditasi. Hal ini dimaksudkan agar seluruh apotek memiliki standar pelayanan kefarmasian.

Diimbau kepada masyarakat agar jangan membeli obat di apotek yang tidak ada apotekernya. Pasien merupakan salah satu komponen dari tim perawatan kesehatan, sehingga pasien harus aktif berdiskusi dengan apoteker mengenai obat-obatan yang dikonsumsinya. Jangan hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada dokter atau apoteker. Sikap masyarakat yang demikian akan memaksa apoteker hadir setiap saat di apotek. Dengan demikian masyarakat memperoleh pelayanan yang komperehensif.

Walaupun sebenarnya apoteker harus berada di apotek sepanjang jam buka apotek, ada baiknya juga jika apoteker memiliki jam praktik seperti halnya dokter. Jam praktik akan memberikan peraturan yang jelas dan mengikat bagi apoteker mengenai presensinya di apotek. Jam praktik yang dimaksud diterapkan seperti shift, sebagai contoh, apotek A buka 24 jam dan memiliki 3 apoteker yang akan berada di apotek masing-masing 8 jam per hari secara bergiliran. Jika hal semacam ini diterapkan, akan selalu ada apoteker di apotek. Bila perlu, apoteker memiliki ruangan khusus sebagai tempat pasien untuk berkonsultasi.

Dr. Imono Argo Donatus SU, Apt mengatakan peran apoteker sangat penting dalam memberikan obat kepada pasien/konsumen. Tugas apoteker bukan lagi sekadar mengecek keabsahan resep, menghitung takaran, menimbang/mengukur bahan, meracik dan menyalurkan/menyerahkan obat kepada pasien/konsumen, sebagaimana selama ini terjadi. Pelayanan apoteker harus diperluas, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, ke pelayanan farmasi sosial (social pharmacy) dengan cakupan populasi masyarakat yang lebih luas.

Seperti yang telah dijelaskan, inti dari pekerjaan kefarmasian adalah pelaksanaan Pharmaceutical Care. Hal ini dapat diimplementasikan melalui “Good Pharmacy Practise” atau Praktik Kefarmasian yang Baik. Aktifitas di apotek yang mencerminkan pelaksanaan Good Pharmacy Practice ini membutuhkan pelayanan yang profesional dari apoteker. Pelayanan yang profesional harus dilaksanakan dengan kemampuan dan disiplin yang tinggi, mengamalkan kode etik dan standar profesi, dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sikap perilaku profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem mekanisme. Kode etik yang pada dasarnya adalah tatanan nilai etis dan moral yang berkaitan langsung dengan perilaku individu dalam suatu profesi, merupakan komitmen moral yang harus dihormati dan menjiwai perilaku, seluruh sikap dan tindakan profesionalnya. Jika semua apoteker berperan untuk meningkatkan pelayanannya dan mempunyai niat baik untuk memperbaiki situasi kefarmasian, maka harkat dan martabat apoteker bisa diraih kembali.

Sumber : Surya Online, Konsultasi Kesehatan dan Kefarmasian, Indonesian Pharmaceutical Watch,
Waspada Online, Harian Suara Pembaruan, Cybermed, Harian Republika, YanFar

No comments:

Post a Comment

Free Shoutbox Technology Pioneer